by

Hilangnya Keberkahan Hujan

Hilangnya Keberkahan Hujan oleh : Hasanul Rizqa

Samarafm.com- Sejak awal tahun baru 2020, berbagai pemberitaan menyoroti wilayah di Tanah Air yang dilanda banjir. Terjangan air bah juga menyapu sejumlah titik di Jabodetabek. Betapa banyak kerugian yang diderita, baik materil maupun nonmateri. Jumlah pengungsi akibat musibah tersebut mencapai ribuan jiwa.

Mereka mesti bertahan meski ada pula di antaranya yang memutuskan untuk kembali ke kediaman masing-masing. Bagaimanapun, ancaman penyakit di tengah endapan lumpur dan genangan masih harus diwaspadai. Tahun baru dibuka hujan dengan durasi yang cukup lama serta intensitas yang deras. Mungkin, sebagian kita dengan sesumbar menyalahkan datangnya musim hujan sebagai penyebab banjir.

Padahal, hujan sejatinya turun untuk memenuhi kebutuhan alam dan manusia akan air. Kita tentunya tidak lupa. Pada tahun lalu, kekeringan melanda banyak daerah. Bahkan, tak sedikit yang berselimut kabut asap kebakaran hutan. Itu semua berlangsung kian parah lantaran hujan tak kunjung tiba.

Panas setahun hilang oleh hujan sehari. Lantas, mengapa kini hujan yang menjadi tersangka? Cermin besar perlu kita gelar untuk mereka yang menyalahkan cuaca. Sebab, siklus alam merupakan harmoni yang antarunsurnya saling terhubung untuk menjaga keseimbangan. Yang amat sering terjadi justru tangan-tangan manusia telah merusak mekanisme yang penuh keteraturan itu.

Ada ulah manusia di balik wajah hujan yang menakutkan. Di perkotaan, betapa banyak aliran sungai yang tak lagi jernih. Keruh, serta tersumbat di sana-sini. Orang-orang juga dengan tanpa perhitungan mendirikan hunian di dekat tepian sungai. Aliran air sungai pun kian menyempit. Lebih buruk lagi: sungai diubah menjadi tempat sampah bersama.

Kemalasan orang-orang yang tak bertanggung jawab menimbulkan dampak lingkungan yang dahsyat. Mulai dari bau yang tak sedap dari air sungai hingga pada akhirnya memunculkan banjir yang kian tahun kian parah menerjang.

Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah hujan. Dalam surah al-Baqarah ayat 22, Allah berfirman, artinya, “Dialah (Allah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutusekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

Hujan seharusnya menstimulus manusia untuk beriman dan banyak-banyak bersyukur kepada-Nya. Air hujan menimbulkan manfaat yang besar. Di lain tempat, yakni surah as-Sajdah ayat 27, Allah SWT memberi peringatan terkait hujan sebagai salah satu isyarat kemahakuasaan- Nya.

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?”

Ketika hujan justru berujung pada petaka, maka keberkahan yang semestinya dapat dirasakan orang-orang pada tiap tetes air yang jatuh dari langit telah hilang. Alih-alih berucap alhamdulillah, mereka malah menatap ke atas dengan pandangan cemas. Hujan seakan-akan telah jadi aba-aba bagi mereka untuk siap-siap mengungsi.

Kalau sudah begitu, siapa yang salah? Sekali lagi, banjir terjadi lantaran pengabaian terhadap mekanisme keseimbangan alam. Sebagai contoh, tata kota dibangun tanpa perencanaan yang baik dan berkelanjutan (sustainable) sehingga kehidupan manusia tak serasi dengan alam. Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi.

Oleh karena itu, amatlah lancang bila kita justru semena-mena merusak alam. Bumi telah menyediakan segala macam keperluan demi kelangsungan hidup manusia. Secara etika, manusia sudah semestinya memelihara kelestarian alam, minimal lingkungan tempat tinggal sendiri agar selalu menjadi sumber penghidupan yang layak.

Bayangkan, bila setiap orang di negeri ini berkomitmen menjaga lingkungan salah satu tugas sebagai khilafah-Nya di muka bumi betapa lekas perubahan yang baik dapat terwujud. Misalnya, berhentilah mengotori sungai. Atau, kurangi konsumsi plastik yang sulit terurai di alam.

Langkah keseribu dimulai dari satu langkah kecil. Perubahan besar dapat diawali dari komitmen mengubah kebiasaan buruk diri sendiri. “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS Ali ‘Imran: 14).

sumber: republika

News Feed