by

Menjaga Negeri dari Wabah Penyakit Dalam Islam Oleh Ar Razi

Samarafm.com – Berita tentang ganasnya wabah corona semakin membuat panik penduduk dunia. Korban terus berjatuhan, sementara obat masih belum ditemukan. Korbannya tak pandang bulu. Termasuk para medis dan dokter yang memberikan pertolongan pertama.

Pemerintah Cina melaporkan bahwa dr Liang Wudong (62 tahun) yang bekerja di garis terdepan menangani wabah virus Corona di kota Wuhan meninggal dunia.
Dokter asal Provinsi Hubei, Cina, diduga tertular penyakit tersebut pada 16 Januari di Rumah Sakit (RS) Pengobatan Cina di Provinsi Hubei.(26/1).
Setidaknya sampai saat ini tercatat 15 petugas medis telah terinfeksi. Tiga orang di antaranya adalah dokter.

Dari tiga dokter asal Beijing yang mengidap virus 2019-nCoV itu, dua di antaranya telah melakukan perjalanan ke Wuhan.

Sementara, seorang dokter lainnya sempat duduk bersama dengan seorang pengidap dalam salah satu rapat sebagaimana laporan CGTN.

Di sosial media beredar video wawancara dengan para petugas medis yang terlihat sangat tertekan dan kelelahan. Mereka mengungkapkan kekhawatiran dari keluarganya, sebab bertugas di pusat wabah.
Untuk membantu penanganan, sebanyak 150 petugas medis dari Army Medical

University diterbangkan dari Kota Chongqing menuju Wuhan pada Kamis (24/1).
Dokter dan para petugas medis sangat rentan tertular. Karena mereka melakukan kontak langsung dengan pasien. Sekalipun sudah mengenakan perlengkapan yang sesuai standar.

Seperti kita lihat di media, mereka memakai mantel layaknya astronot yang menutupi seluruh tubuh. Dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Kalau dokter modern memakai mantel “ala astronot”, di Eropa abad ke 14 saat terjadi wabah yang disebut Black Death, lain lagi.

Petugas medis yang menangani memakai seragam berupa jubah panjang, sarung tangan, sepatu bot, dan topi yang tepiannya lebar. Seragam itu juga dilengkapi dengan masker “berparuh” yang terlihat seperti burung.

Selain itu, dokter juga membawa tongkat panjang, agar tidak perlu bersentuhan langsung dengan pasien.

Penyebaran penyakit yang disebabkan virus atau bakteri telah lama mendapat perhatian dari para dokter Muslim.

Tercatat nama Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husayn at-Taymi al-Bakri at-Tabaristani atau yang dikenal dengan nama Fakhruddin ar-Razi yang di Barat disebut Rhazes, menuliskan tentang penyakit cacar dan campak dalam kitabnya “Al-Judari wal Hasbah”.

Kitab ini diterjemahkan dalam bahasa Latin di Venezia (1565) dengan judul De Variolis et Morbilis (Risalah Tentang Cacar dan Campak).

Begitu hebat buah pikirnya bagi dunia kedokteran, kitab ini kemudian diterjemahkan dalam banyak bahasa modern dan masih digunakan sebagai buku ajar di fakultas kedokteran sampai abad ke-18.Menariknya, Ar Razi bukan sekadar dokter. Seperti cendekiawan Muslim pada umumnya, ia menguasai beragam disiplin ilmu.

Karyanya mencapai ratusan. Yang terdiri dari kitab-kitab kedokteran, astronomi, matematika, logika, fisika, kalam, fikih, ushul fikih, hingga tafsir Alquran.
Bukan hanya kitab kedokteran yang ditulisnya yang digunakan selama berabad-abad. Dalam bidang tafsir, kitabnya yang sampai kini masih terus dikaji adalah Mafatih al-Ghaib (at-Tafsir al-Kabir li Alquranul Karim).

Adapun dalam disiplin fikih dan ushul fikih, ia telah menulis kitab al-Mahshul fil Fiqh dan al-Mahshul fil Ushul Fiqh. Karya masyhur lainnya adalah kitab al- Qadha wa al-Qadar, al-Mulakhash fil Filsafah, al-Mathalib al-‘Aliyah fil Hikmah, dan al-Mabahits al-Masyra qiyyah. Kitab-kitab ini merupakan kajian kalam dan filsafat.

Ia adalah dokter yang diminta Khalifah Harun al Rasyid mendirikan bimaristan (rumah sakit) di Baghdad. Menariknya, sebelum menentukan lokasi bimaristan, Ar Razi meletakkan beberapa potong daging segar di sejumlah titik.

Lokasi di mana daging paling lama membusuk, itu yang dipilih. Karena menandakan tempat yang paling bersih dan udaranya segar.

Rumah sakit yang didirikannya pun telah dirancang memisahkan ruangan untuk pasien dengan penyakit menular.

Kegigihan para dokter Muslim saat berjibaku melawan wabah penyakit tak diragukan. Militansi mereka tak ubahnya pada mujahid yang bertempur di medan jihad. Tak ada khawatir atau rasa takut sama sekali.

Apa pasal? Karena telah bulat keyakinan dalam hati mereka. Tidak ada penyakit yang bisa menular kecuali atas izin Allah.Ini terbukti dengan satu tempat di muka bumi yang sampai sekarang belum pernah tersentuh wabah penyakit dengan jumlah korban masif (tha’un). Yakni, Madinah.

“Sesungguhnya Kota Madinah itu dipagari oleh para malaikat, di setiap jalan masuknya terdapat dua malaikat yang menjaganya. Tidak masuk di dalamnya wabah tha’un dan tidak juga Dajjal.” [HR. Bukhari dan Imam Ahmad].

Red: Muhammad Subarkah

Sumber: Republika

News Feed